PERKAWINAN anak merupakan pelanggaran serius terhadap hak-hak anak dan menjadi tantangan besar dalam pembangunan sumber daya manusia di Indonesia. Meskipun telah ada regulasi yang menetapkan batas usia minimal perkawinan, praktik ini masih marak terjadi, termasuk di Provinsi Gorontalo.
Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa pada tahun 2023, jumlah pernikahan di Provinsi Gorontalo mencapai 8.592 kasus, menurun dari 9.500 kasus pada tahun 2022. Namun, angka ini tetap menunjukkan tingginya praktik perkawinan anak.
Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, pada tahun 2022, angka perkawinan anak di Gorontalo mencapai 13,65 persen, jauh di atas rata-rata nasional sebesar 8,06 persen.
Perbandingan ini menempatkan Gorontalo sebagai salah satu provinsi dengan angka perkawinan anak tertinggi di Indonesia, bahkan menempati posisi ketiga secara nasional pada tahun yang sama.
Hal ini menandakan bahwa meskipun telah ada regulasi yang tegas, implementasinya di tingkat daerah masih menghadapi berbagai tantangan.
Di tingkat daerah, Provinsi Gorontalo telah memiliki beberapa regulasi yang mendukung perlindungan anak dan pencegahan perkawinan anak. Salah satunya adalah Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Gorontalo Nomor 12 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pembangunan Ketahanan Keluarga.
Hal ini menandakan bahwa meskipun telah ada regulasi yang tegas, implementasinya di tingkat daerah masih menghadapi berbagai tantangan.
Di tingkat daerah, Provinsi Gorontalo telah memiliki beberapa regulasi yang mendukung perlindungan anak dan pencegahan perkawinan anak. Salah satunya adalah Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Gorontalo Nomor 12 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pembangunan Ketahanan Keluarga.
Beberapa kabupaten/kota juga telah mengadopsi regulasi serupa, seperti Perda Kota Gorontalo Nomor 7 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Kota Layak Anak. Namun, implementasinya masih terkendala oleh lemahnya koordinasi antar instansi dan keterbatasan sumber daya.
Pemerintah pusat juga telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan. UU ini diharapkan dapat memperkuat upaya pencegahan perkawinan anak melalui pendekatan holistik dan terintegrasi.
Namun, hingga saat ini, regulasi yang ada belum sepenuhnya efektif untuk mencegah praktik perkawinan anak di Gorontalo. Oleh karena itu, evaluasi menyeluruh terhadap implementasi kebijakan, penguatan koordinasi lintas sektor, dan partisipasi aktif masyarakat sangat diperlukan.
Kerangka Teori : Analisis Kebijakan Publik
Analisis kebijakan publik mempelajari bagaimana kebijakan dirancang, diimplementasikan, dan dievaluasi. Dye (2013) mendefinisikan kebijakan publik sebagai " apa yang diputuskan dan dilakukan pemerintah atau tidak dilakukan untuk mengatasi masalah publik", sementara Easton (1965) menyebutnya sebagai "aliran keputusan yang mengalokasikan nilai-nilai" dalam masyarakat. Dimensi utama meliputi substansi kebijakan, proses kebijakan, aktor kebijakan, dan konteks kebijakan.
Osborne dan Gaebler (1992) menekankan perlunya inovasi dalam pemerintahan yang mendorong keterlibatan berbagai pihak dalam menemukan solusi. Denhardt & Denhardt (2000) menyoroti pentingnya partisipasi warga sebagai subjek dalam pengambilan keputusan.
Bovaird & Löffler (2003) menekankan kolaborasi multi-aktor untuk implementasi kebijakan yang berhasil. Di Indonesia, Widodo (2018) menyoroti pentingnya ketersediaan sumber daya, koordinasi lintas sektor, komitmen aktor, dan dukungan masyarakat dalam implementasi kebijakan.
Mazmanian dan Sabatier (1983) menambahkan bahwa keberhasilan implementasi kebijakan ditentukan oleh kejelasan tujuan, ketersediaan sumber daya, kondisi eksternal (seperti budaya dan nilai-nilai lokal), serta kapasitas dan komitmen aktor pelaksana.
Dalam konteks Gorontalo, meskipun regulasi telah ada, praktik perkawinan anak masih tinggi karena faktor-faktor seperti budaya, celah dalam regulasi (misalnya dispensasi kawin), dan kurangnya koordinasi.
Realitas di Provinsi Gorontalo
Faktor Penyebab Perkawinan Anak di Gorontalo:
1. Faktor Budaya dan Tradisi: Nilai-nilai budaya di beberapa daerah di Gorontalo masih memandang pernikahan di usia muda sebagai wajar, bahkan sebagai solusi atas masalah sosial seperti menjaga kehormatan keluarga atau mencegah kehamilan di luar nikah. Adanya tradisi lokal yang mendukung praktik perkawinan anak, termasuk pemahaman bahwa anak perempuan yang sudah 'cukup umur' secara fisik boleh dinikahkan, tanpa mempertimbangkan aspek psikologis dan pendidikan.
2. Faktor Ekonomi: Kemiskinan menjadi salah satu pendorong utama perkawinan anak. Orang tua dengan kondisi ekonomi sulit sering menganggap menikahkan anak sebagai cara mengurangi beban keluarga. Dalam situasi tertentu, perkawinan anak dianggap sebagai jalan untuk mendapatkan dukungan ekonomi dari pihak keluarga pasangan.
3. Kurangnya Akses Pendidikan dan Informasi: Anak-anak, terutama perempuan, di daerah pedesaan sering tidak memiliki akses pendidikan yang memadai, sehingga lebih rentan dinikahkan. Rendahnya pemahaman tentang hak anak, kesehatan reproduksi, dan dampak negatif perkawinan anak turut memperburuk keadaan.
4. Celah dalam Regulasi dan Lemahnya Penegakan Hukum: Meskipun telah ada UU Perkawinan yang menetapkan usia minimal perkawinan, celah berupa dispensasi kawin masih sering dimanfaatkan. Kurangnya pengawasan dan koordinasi antarinstansi dalam mengimplementasikan regulasi menjadi penyebab lemahnya perlindungan anak.
5. Kurangnya Peran Keluarga dan Masyarakat: Kurangnya komunikasi antara orang tua dan anak tentang pentingnya pendidikan dan masa depan anak membuat anak-anak rentan terhadap pernikahan dini. Tekanan sosial dari lingkungan sekitar, seperti desakan keluarga atau tetangga, juga berperan mendorong perkawinan anak.
6. Kurangnya Program Intervensi yang Terintegrasi: Program pencegahan perkawinan anak di Gorontalo masih bersifat sporadis dan belum terintegrasi lintas sektor, sehingga dampaknya terbatas. Minimnya keberadaan Pusat Layanan Perlindungan Anak yang mudah diakses membuat korban dan keluarga kesulitan mencari bantuan.
Data menunjukkan bahwa angka perkawinan anak di Gorontalo masih jauh di atas rata-rata nasional. Faktor budaya yang memandang perkawinan anak sebagai solusi masalah ekonomi, tekanan sosial, dan rendahnya pemahaman tentang risiko perkawinan anak menjadi penyebab utama.
Regulasi daerah seperti Perda Provinsi Gorontalo Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak dari Tindak Kekerasan serta Perda Kabupaten Gorontalo Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kabupaten Layak Anak belum sepenuhnya efektif dalam menekan praktik ini.
Di lapangan, pemberian dispensasi kawin oleh pengadilan agama sering dimanfaatkan sebagai celah hukum untuk melegalkan perkawinan anak.
Selain itu, masih terbatasnya program edukasi dan kesadaran masyarakat, terutama di daerah pedesaan, berkontribusi terhadap tingginya angka perkawinan anak.
Dukungan keluarga dan tokoh masyarakat juga masih minim, dengan sebagian masih memandang perkawinan anak sebagai hal yang wajar.
Peran Tokoh Agama dan Adat dalam Pencegahan Perkawinan Anak
Tokoh agama dan tokoh adat memiliki pengaruh besar dalam membentuk norma dan perilaku sosial. Mereka dapat memberikan pemahaman agama yang menekankan pentingnya kesiapan fisik, mental, dan sosial sebelum menikah.
Tokoh adat dapat mengubah norma yang mendukung perkawinan anak menjadi norma yang mendukung pendidikan dan perlindungan anak.
Keterlibatan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS)
OMS di Gorontalo berperan penting dalam advokasi hak anak dan edukasi masyarakat. Mereka dapat melaksanakan program komunitas, menyediakan layanan konseling, dan menjadi mitra strategis pemerintah. OMS mampu menjangkau kelompok rentan dan memberdayakan anak-anak untuk menolak praktik perkawinan anak.
Studi Kasus: Praktik Baik dari Daerah Lain
Belajar dari daerah lain seperti NTB dan Jawa Tengah, yang telah berhasil dengan program "Desa Ramah Anak" Program ini melibatkan semua pihak dalam menunda usia perkawinan dan mendukung pendidikan anak.
Provinsi Gorontalo di tahun 2024 menjadi salah satu pilot project Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak, yang di-launching oleh Ibu Menteri PPPA sebagai Ruang Bersama Indonesia (RBI) pada perayaan hari Ibu 22 Desember 2024.
Diharapkan Desa Ayula Selatan Kabupaten Bone Bolango dengan berbagai inovasi dan kegiatan yang strategis, akan berhasil menurunkan angka perkawinan anak dan menurunkan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak pada umumnya di provinsi Gorontalo.
Rekomendasi Program dan Kegiatan
Rekomendasi mencakup program legislasi, advokasi, penguatan kapasitas, hingga pemberdayaan masyarakat. Mulai dari pemerintah pusat yang perlu menyusun peraturan teknis dan kampanye nasional, pemerintah daerah yang membentuk satgas dan basis data, Kementerian Agama yang memperketat dispensasi kawin, Kementerian Pendidikan yang meningkatkan akses dan kualitas pendidikan, hingga kementerian sosial dan PPPA yang menyediakan layanan perlindungan dan pelatihan keluarga.
Aparat penegak hukum harus meningkatkan kapasitas penyidik dan menyediakan hotline pengaduan. Sektor swasta dapat mendukung melalui CSR, sementara masyarakat, khususnya orang tua, harus mengubah pola pikir dan meningkatkan peran keluarga sebagai pelindung anak.
Penutup
Perkawinan anak di Provinsi Gorontalo merupakan permasalahan kompleks yang memerlukan pendekatan holistik dan terukur. Regulasi yang telah ada harus dilengkapi dengan implementasi konkret, keterlibatan aktif seluruh pihak, dan penguatan peran keluarga dan masyarakat.
Dengan sinergi lintas sektor, kita dapat menciptakan masa depan anak-anak Gorontalo yang lebih baik, bebas dari praktik perkawinan dini. Meski telah terdapat regulasi nasional dan daerah yang mengatur usia minimal perkawinan, praktik perkawinan anak masih marak.
Permasalahan ini tidak hanya disebabkan oleh kelemahan regulasi, tetapi juga faktor budaya, ekonomi, dan minimnya edukasi masyarakat. Rekomendasi yang diajukan mencakup program legislasi, edukasi, pemberdayaan ekonomi, penegakan hukum, dan kolaborasi lintas sektor.
Sinergi antara pemerintah pusat, daerah, sektor swasta, dan masyarakat menjadi kunci keberhasilan dalam menurunkan angka perkawinan anak di Gorontalo.